Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dariTaiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).[2]Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal[4].
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Subsuku Batak
- Suku Batak Toba di Silindung, Samosir, Toba, sebagian Dairi dan Humbang Hasundutan,DLL
- Suku Batak Karo di Langkat,medan, Deli Serdang, Bedagai, Tanah Karo dan sebagian Simalungun dan Dairi,dll
- Suku Batak Simalungun di Kabupaten Simalungun (Dolok Pardamean, Silima Kuta, Pematang Bandar, dll)
- Suku Batak Pakpak di Aceh Tenggara dan Dairi,dll
- Suku Batak Pakpak boang di singkil.aceh,dll
- Suku Batak Gayo aceh tenggara,tengah,dan tumur.dll
- Suku Batak Alas kluet aceh timur,selatan dan tengah.dll
- Suku Batak Mandailing di Tapanuli Selatan, Padang Lawas dan Mandailing Natal.dll
- Suku Batak Angkola di Tapanuli Selatan sekitar daerah Sipirok.dll
Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Masakan Batak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masakan Batak adalah jenis masakan yang dipengaruhi seni dan tradisi memasak suku Batak, yang mendiami wilayahSumatera Utara, Indonesia. Masakan Batak adalah salah satu jenis masakan Nusantara. Salah satu ciri masakan batak adalah kegemarannya menggunakan andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai rempah utama. Karena itulah Andaliman kadang dijuluki sebagai "merica batak".
Kebanyakan orang Batak kini beragama Kristen, karena itulah tidak seperti suku di sekitarnya (seperti Aceh dan Minangkabau), kebanyakan hidangan Batak tidak dibatasi oleh aturan halal. Daging babi, darah, dan bahkan daging anjing lazim dikonsumsi dalam tradisi kuliner Batak. Banyak makanan terbaik daerah itu dibuat dari daging babi, serta makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak biasa, akan tetapi ada juga hidangan-hidangan halal.
Pusat seni kuliner Batak terdapat di kota-kota di dataran tinggi Tanah Batak, misalnya di kawasan Tanah Karo yaitu kotaKabanjahe dan Berastagi. Sementara beberapa tempat di sekitar Danau Toba banyak menawarkan hidangan ikan air tawar seperti arsik ikan mas. Selain di Sumatera Utara, di Jakarta dan sekitarnya serta kebanyakan kota-kota besar di Indonesia dapat pula ditemukan Lapo atau rumah makan khas Batak.
Tarombo Batak adalah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku Batak. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan terkhusus dalam falsafah Dalihan Natolu.
Tarombo si Raja Batak (silsilah garis keturunan suku bangsa Batak) dimulai dari seorang individu bernama Raja Batak.
Si Raja Batak berdiam di lereng Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula, namanya. Sehingga wilayah/lereng Pusuk Buhit dapat dikatakan sebagai daerah asal-muasal suku bangsa Batak. yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok, baik Indonesia maupun dunia.
Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:
- Guru Tatea Bulan
- Raja Isumbaon
Guru Tatea Bulan mempunyai 5 (lima) orang putra, yaitu:
- Raja Biakbiak (Raja Uti)
- Saribu Raja
- Limbong Mulana
- Sagala Raja
- Silau Raja
Raja Biakbiak
Raja Biakbiak adalah putra sulung Guru Tatea Bulan. Raja Biakbiak atau juga disebut dengan Raja Uti tidaklah mempunyai keturunan.
Saribu Raja
Saribu Raja adalah putra kedua Guru Tatea Bulan. Saribu Raja mempunyai 2 (dua) orang putra yang dilahirkan oleh 2 (dua) istri. Istri pertama Saribu Raja adalah Siboru Pareme yang melahirkan Raja Lontung (benarkah anak dari Sariburaja?) dan istri kedua Saribu Raja adalah Nai Mangiring Laut yang melahirkan Raja Borbor.
Raja Lontung
Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) orang putra, yaitu:
- Sinaga, menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangnya
- Situmorang, menurunkan marga Situmorang dan cabang-cabangnya
- Pandiangan, menurunkan Perhutala dan Raja Humirtap, Raja Sonang (Toga Gultom, Toga Samosir, Toga Pakpahan, Toga Sitinjak) dan cabang-cabangnya
- Nainggolan, menurunkan marga Nainggolan dan cabang-cabangnya anatara lain Lumban Nahor, Batuara, Parhusip, Lumban raja
- Simatupang, menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan Siburian
- Aritonang, menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk, dan Simaremare
- Siregar, menurunkan marga Siregar Silo (Sormin), Dongoran, Silali, dan Sianggian.
runan Raja Borbor membentuk rumpun persatuan yang disebut dengan Borbor yang terdiri dari marga Pasaribu, Batubara, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Pulungan, Hutasuhut, Tanjung serta Daulay. Sementara, waktu Nai Mangiring masih hidup, dia dan adik-ipar (adik-adik Sariburaja), Limbongmulana, Sagala Raja dan Silau Raja membuat suatu ikatan perjanjian yang disebut "padan" yang menyatakan bahwa "pomparan" mereka semua, seterusnya disebut dengan "Borbor Marsada". Disini turunan dari Boru Pareme tidak turut serta.
Limbong Mulana
Keturunan Limbong Mulana sebagai putra ketiga Guru Tatea Bulan, hingga kini tetap memakai marga Limbong.
Sagala Raja
Keturunan Sagala Raja sebagai putra keempat Guru Tatea Bulan tetap memakai marga Sagala.
Silau Raja
Silau Raja sebagai putra bungsu Guru Tatea Bulan menurunkan marga Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning.
Raja Isumbaon
Raja Isumbaon adalah putra kedua/bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra, yaitu:
- Tuan Sorimangaraja
- Raja Asiasi
- Sangkar Somalidang
Khusus keturunan Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang hingga saat ini belum diketahui pasti siapa keturunan mereka. Ada yang berpendapat, Sangkar Somalidang sekaligus Sangkar Sobaoa. Pengertian "sangkar sobaoa" ialah sesungguhnya laki-laki namun sifat-pembawaannya perempuan, atau banci. Sedang Raja Asiasi dikatakan berkelana ke Aceh.
Tuan Sorimangaraja
Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 (tiga) orang putra, yaitu:
- Ompu Tuan Nabolon, lahir dari istri Sorimangaraja, Nai Ambaton (nama kecil, Boru Paromas/Boru Antingantingsabungan)
- Datu Pejel/ Tuan Sorbadijae, lahir dari istri Sorimangaraja, Nai Rasaon (nama kecil, Boru Bidinglaut)
- Tuan Sorbadibanua, lahir dari istri Sorimangaraja, Nai Suanon/Nai Tungkaon (nama kecil, Boru Parsanggul Haomasan)
Naiambaton, kurang pas, seharusnya atau aslinya adalah Nai Ambaton) dan Nairasaon seharusnya atau aslinya Nai Rasaon, tidak didahului kata "Raja". Karena yang dimaksud "raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI. Kedua orang tersebut, Nai Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka seharusnya ada pertukaran letak suku kata, bukan "pomparan raja naiambaton atau nairasan" tetapi seharusnya adalah "raja pomparan ni nai ambaton" atau raja pomparan ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai" dalam bahasa Batak asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar". Karena kata Nai bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang bersangkutan sudah berhasil naik setingkat dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan bapak yang bersangkutan sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama, lepas dari laki atau perempuan. Namun kepada sang bapak, didepan nama anak-pertama tsb ditambahkan "Amani", semisal anak pertama tsb ialah si Bunga, maka si bapak dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si ibu sehari-hari dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari perkawinan mereka berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak pertama dan ternyata laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara otomatis bernama "Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah perempuan, otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir tersebut belum diberi nama, maka kedua orang, suami-istri tersebut akan dipanggil Amani Ucuk/ Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah p. Samosir hal ini dianggap sangat elementer, namun sangat penting dalam etika berbicara, berkomunikasi dan pergaulan-bermasyarakat sehari-hari. Orang yang memanggil orang lain dengan panggilan "gelar", merasa menghormati orang yang bersangkutan dan orang yang dipanggil akan merasa dihormati. Kalau sepasang suami-istri masih dalam penantian anak dari perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang agak abstrak, misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah berarti "menanti". Opsi kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga atau keempat dari abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang lain dalam kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat kampung yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara turun-temurun. Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman dan tidak terbebani, bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di atas, Amani Bunga untuk sang bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.
Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment di atas. Nai Ambaton ("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan/Boru Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar pariban"/"sisters" dengan si Boru Pareme). Si Boru Paromas adalah istri pertama dari Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon; namun ada juga penulis yang menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan Nabolon inilah si Bolontua (Simbolon - seluruhnya), Tambatua - melahirkan banyak marga-marga, Saragitua - melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua - yang juga melahirkan banyak marga-marga. Estimasi terkini menjadi 70-an marga yang disebut dengan PARNA (Parsadaan Nai Ambaton) "na boloni".
Istri kedua Tuan Sorimangaraja ialah si Boru Bidinglaut, yang kemudian "mar-panggoaran" Nai Rasaon. Melahirkan satu anak, bernama Datu Pejel; namun ada penulis menyebut namanya Ompu Tuan Sorbadijae. Anak-anaknya ada dua, yang lahir sekaligus dalam satu "lambutan" bernama Raja Mangarerak dan Raja Mangatur. Pomparan Raja Mangarerak ialah seluruhnya marga Manurung; sementara pomparan Raja Mangatur, ialah seluruhnya marga-marga Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Panjang cerita/"turiturian" dibalik penyebutan 4 marga tersebut.
Istri ketiga Tuan Sorimangaraja ialah Nai Suanon/ Nai Tungkaon, nama kecilnya ialah Boru Parsanggul Haomasan. Dalam tarombo pomparan Guru Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tidak tertulis. Ibu ini melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua lahir 8 anak laki-laki, no 1 si Bagotnipohan, turunannya termasuk "Hula-hula anak manjae" SBY, keluarga Aulia Pohan. Satu lagi di antara 8 itu ada Silahi Sabungan, termasuk Letjend (Prn) TB Silalahi, anggota Watimpres SBY. Satu lagi di antara 8 itu ialah Raja Sobu, asal dari marga-marga Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping masih tetap ada Hasibuan) menurunkan marga-marga Hutabarat(si Raja Nabarat), Panggabean (bercabang lagi dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan (bercabang dua yaitu marga-marga Hutapea-Tarutung/Silindung & Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di Laguboti, tapi punya tarombo tersendiri.
Khusus tentang turunan Ompu Tuan Nabolon, menurut kebanyakan literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih satu) yg disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok/Rumabolon, 2 Lumban Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4, Muntetua. Mereka berempat, si Bolontua, Tambatua, Saragitua dan Muntetua dilahirkan oleh 2 Ibu: pertama, boru Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan nama anak-anaknya tsb oleh Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tidak asal-asalan tapi harus bijaksana ("wise"), seperti cerita Raja Salomo yang bijak, karena dilahirkan oleh 2 orang istri. Ada istri pertama dan ada istri kedua. Istilah kerennya, poligami. Sebagai perbandingan, ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael dgn Ishak. Yg lahir duluan, Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka Ishak yang lahir dari sang "permaisuri", yaitu Sarah, itulah yg diberkati oleh Abraham dan Yahwe yang disembah oleh Abraham. Sekedar perbandingan saja lah.-->
Raja Nai Ambaton
Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.
Marga-marga keturunan Raja Naiambaton (Datu Sindar Mataniari), antara lain: Raja Sitempang dan Bolon Tua. Dan cabang-cabangnya: Dari Istri Siboru Biding laut III Pomparan Raja Sitempang
- Raja Sitempang (Sitanggang Bau, Sitanggang Lipan, Sitanggang Upar, Sitanggang Silo, Sigalingging, Sitanggang Gusar dari Sitanggang Bau,Turnip, Sidauruk, Manihuruk dari Sitanggang Silo, Sigalingging ke Dairi (Banuarea, Manik, Gaja, Tendang, Rampu, Kecupak, Kombi, Boang Manalu, Barasa, Turutan, Siambataon), Simanihuruk( Ginting Manik ke Tanah Karo)
Dari IStri SIboru Anting Anting Pomparan Raja Nabolon
- Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maharaja, Nahampun)
- Tamba Tua: Tonggor Dolok, Lumbang Tongatonga, Lumban Toruan. Lumban Tongatonga beranak dua: Rumaganjang dan Lumbanuruk. Rumaganjang beranak 3: Guru Sateabulan, Guru Sinanti dan Datu Parngongo. Datu Parngongo beranak 7, satu di antaranya bernama Guru Sojoloan (Guru Sotindion). Dari Guru Sojoloan/Guru Sotindion inilah Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok yang biasa disebut "pomparan ni si opat ama".
- Munthe Tua (Munthe)
- Saragi Tua (Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu). Tiga marga di antaranya yang konon turunan dari satu leluhur, yaitu RumahOrbo, NApitu dan SiTIO, akronim (RoNaTio).
Nai Rasaon
Nai Rasaon adalah kelompok marga-marga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon adalah Manurung, Sitorus (menurunkan Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar.
Si Raja Batak adalah S-1, Raja Isumbaon - setaraf dengan Guru Tatea Bulan adalah S-2, maka Tuan Sorimangaraja (anak Raja Isumbaon) adalah S-3. Dari Ibu, Nai Rasaon (nama kecil: si Boru Bidinglaut, Istri II Tuan Sorimangaraja (S-3)/Anak no. 2 Ompu Raja Isumbaon (S-2)) beranak satu, yaitu Datu Pejel/Ompu Tuan Sorbadijae. (S=Sundut/generasi). Datu Pejel, dua anaknya sekali lahir (kembar-dua), namun tidak sebagaimana umumnya lahir kembar secara satu per satu, melainkan lahir kembar-dua di dalam satu "lambutan". Yang dimaksud lambutan, barangkali adalah jaringan selaput yang membungkus bayi ketika di dalam kandungan. Pada waktunya yang tepat dikemudian hari diberi nama: Raja Mangarerak dan Raja Mangatur si "Dua-sahali tubu". Pomparan Raja Toga Manurung berkembang dari Raja Mangarerak; Sementara pomparan Raja Toga Sitorus, Raja Toga Sirait dan Raja Toga Butarbutar berkembang dari Raja Mangatur. Meski empat marga ini sesungguhnya berasal dari satu Ompu, Datu Pejel, namun umumnya, berawal dari wilayah Porsea ke-empat marga ini sudah saling kawin-mawin. Maka prinsip satu keluarga besar "na so boi mar-si-oli-an" telah ditinggalkan. Proses ini diperkirakan sudah dimulai sejak 5 - 6 generasi sebelum generasi yang sekarang, atau kira-kira 200 tahun yl, sedangkan di wilayah asal/asli Sibisa dan Ajibata perasaan bersaudara itu masih kental. Namun di wilayah Ajibata, antara Sirait dan Manurung, pada generasi yang sekarang, telah ada yang memulai kawin-mawin. Sementara antara Sirait terhadap Sitorus dan Butarbutar belum ada yang memulai, tetapi di daerah perantauan seperti di pulau Jawa telah ada yang merintis.
Tuan Sorbadibanua
Tuan Sorbadibanua mempunyai 8 (delapan) putra, yaitu:
- Sibagotnipohan
- Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
- Silahisabungan
- Raja Oloan
- Raja Hutalima
- Raja Sumba
- Raja Sobu
- Raja Naipospos
Sibagotnipohan
Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putra, yaitu:
- Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan cabang-cabangnya
- Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
- Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
- Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede
Sipaettua
Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: Hutahaean, Hutajulu, Aruan, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea
Silahisabungan
Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni:
Istri Pertama, Pingganmatio Padangbatanghari, anaknya:Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni:
Istri Pertama, Pingganmatio Padangbatanghari, anaknya:Delapan Anak Keturunan Silahisabungan dari 2 istri yakni:
- Loho Raja (Sihaloho)
- Tungkir Raja (Situngkir)
- Sondi Raja (Rumasondi)
- Butar Raja (Sidabutar)
- Debang Raja (Sidebang)
- Bariba Raja (Sidabariba)
- Batu Raja (Pintubatu)
- Tambun Raja Alias Raja Itano Alias Raja Tambun (Tambun, Tambunan, Daulay); anak dari istri keduanya, Sinailing Nairasaon.
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, Maha, Sigiro, dan Daulay.
Raja Oloan
Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang putra, yaitu:
- Naibaho yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang-cabangnya.
- Sigodang Ulu yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya.
- Bakara yang merupakan cikal-bakal marga Bakara.
- Sinambela yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela.
- Sihite yang merupakan cikal-bakl marga Sihite.
- Manullang yang merupakan cikal-bakal marga Manullang.
Raja Hutalima
Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan.
Raja Sumba
Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba, Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe.Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:
Raja Sobu
Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya,Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea - Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing=Lumbantobing). Marga-marga tsb (di luar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran". Mana ejaan yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran atau Pisoran, entahlah. Marga-marga tersebut di atas masih tetap alias belum bercabang hingga sekarang. Kecuali pencabangan untuk tujuan penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat Sosunggulon, Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah dibagi lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari pomparan Guru Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat nomornya masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya, "nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu "standing position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst, termasuk "tutur" untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena dapat memotivasi orang lain mencari asal usul ("identitas") "ha-batahonna", tentu setelah indentitas keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu.
Raja Naipospos
Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putra yang secara berurutan, yaitu:
- Donda Hopol yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang.
- Donda Ujung yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk.
- Ujung Tinumpak yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit.
- Jamita Mangaraja yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang.
- Marbun yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol.
Padanan atau janji antar marga (Janji Matogu)
Dalam suku bangsa Batak, selain marga yang satu nenek moyang (satu marga) ditabukan untuk saling kawin, dikenal juga padan (janji atau ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak saling kawin. Marga-marga tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi dalam rumpun persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah diikat padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu disebut dongan padan.
Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, antara lain:
- Manurung dengan Simamora (Debata Raja)
- Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
- Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
- Nainggolan dengan Siregar
- Tampubolon dengan Silalahi
- dan lain sebagainya
Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
Seluruh keturunan Raja Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak saling kawin dengan keturunan Raja Oloan yang bermarga Sihotang. Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan. Memang pada awalnya pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu kesepakatan bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na marhahamaranggi) dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa hingga saat ini seluruh marga Naipospos Silima Saama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang kawin dengan marga Sihotang.
Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang mempersoalkan padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah yang marpadan dengan Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa telah ada ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) bahwa padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda). Benar Marbunlah pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi oleh karena Marbun sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar (padan) sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun. Tetapi oleh karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan dengan Marbun untuk tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta dengan sendirinya oleh karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) yang telah disebutkan di atas. Sehingga suatu padan yang umum bahwa keturunan Raja Naipospos dari istri I (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Raja Naipospos dari istri II (Marbun).
Demikian pula halnya seluruh marga-marga keturunan Raja Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Sihotang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar